Membakar Simbol, Membakar Makna: Luka Kultural di Tanah Papua

Oleh: Mario Mere
Ketua Lembaga Ekologi dan Masyarakat Adat
Pengurus Pusat PMKRI


Pembakaran mahkota adat Papua yang terbuat dari bulu burung cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua bersama oknum aparat TNI, bukan sekadar kesalahan prosedural. Ini adalah tindakan simbolik yang mencederai nurani kebangsaan, menistakan identitas, dan melukai akar spiritual Orang Asli Papua (OAP). Ia bukan hanya salah secara hukum atau birokrasi; ia adalah penghinaan terhadap martabat budaya yang selama ini menjadi penyangga nilai, kehormatan, dan keberadaan masyarakat adat di ujung timur negeri ini.

Bacaan Lainnya

Mahkota adat, entah terbuat dari bulu cenderawasih atau kasuari bukan sekadar hiasan kepala. Ia adalah lambang derajat, penanda status sosial, dan tali penghubung antara manusia, leluhur, dan alam semesta. Dalam setiap upacara adat, mahkota dikenakan bukan untuk estetika, melainkan sebagai manifestasi nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Karena itu, membakarnya bukan hanya menghanguskan benda, tetapi juga memutus garis spiritual dan historis yang menyambungkan generasi Papua dengan jati dirinya.

Kebudayaan Bukan Benda Mati

Sebagaimana Clifford Geertz menegaskan bahwa kebudayaan adalah jaringan makna, maka mahkota adat adalah simpul penting dalam jaringan itu, ia mengikat manusia Papua dengan identitas dan memori kolektifnya. Ketika simbol seperti ini dihancurkan, yang hilang bukan hanya artefak, tetapi pijakan eksistensial sebuah komunitas. Maka, pembakaran itu sejatinya adalah kekerasan terhadap ingatan bersama—sebuah perampasan nilai yang tak bisa ditebus dengan permintaan maaf administratif.

Pierre Bourdieu bahkan melihat benda seperti mahkota adat sebagai modal budaya (cultural capital) sumber legitimasi sosial yang menentukan posisi dan kehormatan seseorang di dalam komunitas. Membakar mahkota berarti meruntuhkan struktur penghormatan itu. Ini adalah serangan terhadap tatanan sosial dan kultural, bukan sekadar terhadap sepotong bulu.

Kekeliruan Cara Pandang yang Mengikis Kepekaan

Tragedi ini memperlihatkan satu hal yang lebih mendasar: kekeliruan cara pandang negara terhadap kebudayaan. Melihat benda adat sebagai “barang bukti” yang boleh dimusnahkan adalah bentuk paling gamblang dari mentalitas kolonial yang masih bercokol pada pandangan sempit yang gagal membedakan antara artefak kebudayaan dengan benda biasa. Kebudayaan tidak bisa direduksi menjadi “barang sitaan”. Ia adalah ekspresi kehidupan, identitas kolektif, dan penghormatan spiritual.

Apa yang semestinya dilakukan? Simpel: simpan, dokumentasikan, kembalikan. Bukan bakar. Dalam logika budaya, menjaga benda adat berarti menjaga nilai; menghormati simbol berarti menghormati masyarakat yang memilikinya. Apa yang terjadi justru sebaliknya: negara memilih jalan pintas yang menyakitkan sebuah keputusan yang lahir dari ketidaktahuan, atau lebih buruk lagi, dari ketidakpedulian.

Tanggung Jawab Moral, Bukan Sekadar Administratif

Indonesia dibangun di atas pengakuan terhadap keanekaragaman budaya. Itu bukan slogan kosong, itu kontrak moral konstitusional. Ketika simbol masyarakat adat direndahkan, maka yang dilukai bukan hanya satu suku, tetapi asas keadilan dan prinsip kebangsaan kita sendiri. Di hadapan peristiwa ini, diam adalah bentuk pembiaran. Netral adalah bentuk kejahatan pasif.

PP PMKRI menuntut klarifikasi terbuka dan tanggung jawab penuh dari Pangdam XVII/Cenderawasih dan BBKSDA Papua. Ini bukan hanya soal hukum, ini soal pemulihan martabat. Kami juga mengajak seluruh cabang PMKRI di tanah Papua untuk bersatu menyikapi insiden ini dengan cara yang bermartabat, namun tegas dan tidak kompromistis.

Menjaga Simbol, Menjaga Martabat

Mahkota adat bukan sekadar anyaman bulu cenderawasih. Ia adalah mahkota dari nilai-nilai luhur, dari identitas yang tak bisa dibeli dan tak bisa digantikan. Ketika simbol itu dibakar, maka yang hangus bukan hanya seikat bulu, tetapi juga rasa hormat terhadap keberagaman, terhadap sejarah, dan terhadap manusia yang menjaganya selama berabad-abad.

Sudah saatnya negara belajar, bahwa melindungi burung cenderawasih tak cukup hanya dengan menyimpannya di kandang konservasi. Negara harus belajar menghormati manusia Papua, mereka yang telah menjaga burung itu, dan lebih dari itu, menjaga maknanya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *