PAPUA TANAH DAMAI

Moksen Sirfefa (pemerhati Papua)

Penulis: Moksen Sirfefa (Pemerhati Papua)

Pagi ini saya membaca tiga teks suci yang dinukil oleh saudaraku pendeta Ambirek Socratez Yoman, dalam salah satu catatan pendeknya, yang berbunyi :

Bacaan Lainnya

“Berbahagialah mereka yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5 : 9).

“Lihatlah! Di atas gunung-gunung berjalan orang yang membawa berita, yang mengabarkan berita damai sejahtera” (Nahum 1 : 15).

“Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari sana terpancar kehidupun” (Amsal 4 : 23).

Tiga pesan suci ini sudah cukup mendasari langkah setiap anggota komunitas apapun di Papua yang memperjuangkan slogan Papua Tanah Damai. Dan untuk membangun kedamaian yang diidealkan di dalam teks-teks suci itu, setiap “orang percaya” harus menghubungkannya dengan status dirinya sebagai penyambung lidah para Nabi. Tidak perlu dia seorang ahli agama. Tidak perlu dia orang asli Papua atau non-Papua. Tidak perlu dia Kristen, Islam atau lainnya. Sebab seseorang yang berbuat baik saja meskipun kebaikan yang dibuatnya hanya sebesar biji sawi, sebenarnya dia telah melanjutkan misi profetik para nabi, menciptakan kedamaian.

Frasa “berita” atau “kabar” dalam bahasa Arab adalah “nabá” sedangkan “pembawa berita” adalah “nabí”, sehingga apa yang diucapkan oleh nabi Nahum di atas adalah orang-orang yang mewarisi tradisi para nabi, membawa kabar baik menciptakan kedamaian. Dalam konteks ini, slogan Papua Tanah Damai telah menjadi common platform (tabernakel) yang memayungi semua komunitas di Tanah Papua untuk mewujudkan ideal Papua Tanah Damai itu tanpa memunculkan slogan-slogan yang merisaukan hati sesama orang percaya.

Akhir-akhir ini ada yang mencoba memasukkan slogan Papua Tanah Injil sebagai paradigma menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Sebagai Muslim, mempercayai Injil sebagai Kitab Suci atau Firman Allah adalah bagian dari iman saya, sehingga “oke oke saja” dengan slogan itu, tetapi bagaimana dengan komunitas penganut agama-agama yang lain? Itu sebabnya, saya sering mengatakan bahwa slogan Papua Tanah Injil, Papua Tanah Perjanjian, Papua Telah Dibaptis, Papua Israel Kedua, dan segala macam label itu menyesatkan secara teologis. Mengapa? Karena slogan-slogan itu terlanjur “diimani” sebagai ajaran kitab suci padahal itu hanyalah produk para pengkhotbah.

Klaim kebenaran (truth claims) semacam itu boleh saja dipakai di dalam lingkungan internal tanpa harus “dipaksakan” menjadi aksioma publik. Karena kalau berbicara tentang agama mana yang lebih dulu datang ke Papua atau yang mayoritas dan minoritas, kita akan terjebak di dalam koridor yang sempit (the narrow corridor) dan tak bisa banyak berbuat apa-apa. Pandangan kita menjadi miopik hanya sebatas komunitas kita saja.

Saya ingin menegaskan kembali bahwa bahaya mencatut kitab suci di dalam klaim keduniaan akan berefek pada desakrakralisasi kitab suci itu sendiri. Kita mengimani diri kita sebagai “anak-anak Allah” (Arab : ‘abd al-Lâh/abdullah) secara konsekuensial berperilaku sebagaimana perilaku Allah. Demikian pula, kita mengklaim Papua Tanah Injil, seharusnya yang terjadi adalah manifestasi Kerajaan Allah di Papua. Tetapi bagaimana kalau perilaku publik yang dominan di Papua adalah mabuk miras, narkoba, bakunai, korupsi, dan segala macam maksiat, sapa mo help? Inilah bahaya desakralisasi kitab suci. Lama-lama kitab suci tidak dianggap lagi sebagai pemandu moral.

Slogan Papua Tanah Damai adalah pilihan frasa yang yang sangat tepat, netral dan mampu menepis segala diferensiasi dan segregasi. Papua Tanah Damai adalah tabernakel bagi semua komunitas agama di Tanah Papua. Sayangnya, banyak yang tidak memahami slogan Tanah Damai sebagai slogan kitab suci. Frasa Tanah Damai (Dâr al-Salam/Darussalam atau Yere Shalom/Yerusalem) dapat kita temui di dalam Islam (lihat, Qs. Al-An’am : 127; Yunus : 25) dan di Kristen (lihat beberapa perikop di dalam Kidung Agung) tentang Yerusalem, yakni tanah yang dipenuhi susu dan madu dengan putri-putri (bidadari) yang cantik rupawan. (Wacana asmara dan bidadari bukan hanya milik Islam tapi juga di dalam Yahudi dan Kristen bahkan semua agama).

Kesimpulannya, bila anda seorang kristiani yang (berbuat) baik di tanah ini, anda telah menjadi seorang pengiman Injil yang setia. Tanpa harus menyebut Papua Tanah Injil. Demikian pula jika anda seorang muslim yang (berbuat) baik di tanah ini, anda telah menjadi pengiman Qur’an yang paripurna tanpa harus menyebut Papua Tanah Al-Qur’an. Membawa-bawa nama kitab suci di dalam slogan politik profanik adalah sebuah pelecehan kitab suci. “Jangan kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah.” (Qs. Al-Baqarah : 41). Kitab suci tidak boleh diobral dengan politik murahan.

Amsal Sulaiman menasehati agar, menjaga kesucian hati dari segala pencemaran duniawi. Saya teringat setiap sabtu seperti hari ini, ibu-ibu majelis taklim Masjid As-Salam di samping rumah saya di Ciputat melantunkan kidung rohani :

Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya ilahi

“Membangun Papua Tanah Damai adalah tanggungjawab torang smua. Bukan ko saja, tapi sa juga”. Izakod bekai izakod kai

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *